RA Nabila Hafsah Sekolah di Rumah, Lost Generation Jangan Sampai Mendera Bangsa

RA Nabila Hafsah Sekolah di Rumah
RA Nabila Hafsah di Komplek Griya Nabila 2. Gurunya pergi mengajar dari rumah ke rumah. Foto:D|Ist

Percut Seituan-Mediadelegasi: Kebijakan Pemerintah Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara terhadap pembatasan belajar dengan tatap muka di kelas bagi siswa Raudhatul Athfal (RA) membuat guru RA Nabila Hafsah harus bekerja ekstra keras dari rumah ke rumah.

Pasalnya, siswa yang dihadapi adalah anak berusia 5-6 tahun yang cara memegang pensil pun masih harus diajarkan, belum mungkin secara virtual. Belum lagi kondisi kesibukan orangtua mereka keduanya harus turut bekerja di tengah kesulitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

“RA Nabila Hafsah hanya punya satu pilihan, belajar dengan tatap muka di masing-masing kediaman siswa. Saya mengunjungi mereka satu persatu,” kata Nurhafsah Ritonga, SAg, SPdI, Kepala RA Nabila Hafsah, Komplek Griya Nabila 2, Desa Kolam, Kecamatan Percut Seituan, Deliserdang, Rabu (15/7).

Bacaan Lainnya

Menurutnya, banyak orangtua yang menarik pendaftaran anaknya dan memilih langsung memasukkan saja anaknya di Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah tahun depan tanpa harus sekolah RA atau TK. “Ini problematika sangat sulit yang dihadapi para pengelola RA, yang membuat madrasah terancam bangkrut atau tutup secara alamiah,” ujar Alumni IAIN Sumut dan STAI Sumatera ini.

Dikatakan, belajar secara dalam jaringan (Daring) tidak segampang yang dicakapkan atau dikonsepkan para pakar dan tokoh pendidikan di negeri ini, terlebih kepada anak usia dini yang masih putih alias nol.

“Alhamdulillah, orangtua anak-anak di RA Nabila Hafsah memahami kondisi ini, dan sebagian besar orangtua mengijinkan saya mengajar dengan tatap muka di rumah mereka masing-masing,” ungkapnya seraya berharap kepada Allah SWT agar warga RA Nabila Hafsah jauh dari bahaya Covid-19.

Pada bagian lain, Nurhafsah Ritonga mengungkapkan bahwa keputusan Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 Deliserdang membatasi tatap muka di kelas madrasah bagi anak RA/TK cukup positif dan wajib ditaati.

Namun, katanya, sekadar untuk dimengerti semua pihak pemangku kebijakan penanggulangan Covid-19, Kementerian Agama RI jauh hari telah merancang kesiapan madrasah dengan Tanggap Covid-19-nya.

Mulai dari pendataan secara online di E-Tanggap Covid-19 aplikasinya EMIS Madrasah, Webinar IGRA secara virtual menawarkan tiga opsi melaksanakan kurikulum darurat Kemenag RI, yang menanamkan prinsip mengutamakan kesehatan.

“Saya berkesimpulan, bahwa madrasah atau RA telah menyiapkan trik pola ajar dan kampanye protokoler kesahatan secara ketat bagi warga madrasah,” ujarnya.

Pandangan nyata, katanya, tak bisa ditutupi. Seberapa persenkah warga Deliserdang yang menggunakan masker? Bahkan masih banyak warga yang tidak punya masker dan enggan memakai masker.

“Ketika RA menerapkan protokoler kesehatan secara ketat, orangtua dan anak otomatis berlatih memakai masker, terbiasa mencuci tangan dan menjaga jarak, karena itu syarat ketat yang diterapkan madrasah,” ungkapnya seraya bertanya, kenapa peluang pembelajaran bagi masyarakat ini tidak digunakan pemerintah, malah membatasi sekolah tatap muka di kelas.

Ini Adalah Dampak

Nurhafsah Ritonga berharap, semoga Covid-19 segera berlalu, kesulitan perekonomian dapat pulih, sehingga orangtua tidak kesulitan membiayai anak-anaknya bersekolah, dan para guru dapat bertahan hidup meski bukan sebagai asnab (penerima) Bantuan Langsung Tunai (BLT) maupun Bantuan Sosial Tunai (BST).

“Mudah-mudahan pandemi Covid-19 tidak sampai merusak tatanan pendidikan yang mengkuatirkan kepada lost generation jika berlama-lama dengan kondisi darurat seperti sekarang ini,” katanya.

Lebih jauh tentang kekuatiran lost generation di masa mendatang, Nurhafsah mengungkapkan pengamatannya di tingkat desa. “Kini anak-anak usia sekolah cenderung mengabaikan tidur cepat tepat waktu, karena tidak harus bangun pagi-pagi untuk bergegas ke sekolah sebagaimana sebelum darurat,” katanya.

Pengamatannya, pada malam hari mereka nongkrong main game online, atau keluyuran tak tentu arah. Sementara pengawasan orangtua kian melemah, karena seharian keduanya harus bekerja mengendalikan perekonomian keluarga dari kesulitan.

“Ini adalah dampak, semoga kekuatiran lost generation tidak sampai mendera bangsa,” ungkapnya. D|Red-02