“Dang di-Au Dang di-Ho, Gabe di Begu”

“Dang di-Au Dang di-Ho, Gabe di Begu”
Ilustrasi

Gabe di begu ma kan, ndang di hamu ndang di hita. Sebuah keprihatinan menyaksikan ‘hasil’ tidak untuk aku, tidak pula untuk kau (dang di-au dang di-ho).

KONON, di Tanah Batak yang dulunya memang terkenal atau dikenal sebagai ‘bangsa’ (bangso) berkarakter keras, sering terjadi sengketa antar individu maupun antar kelompok warga yang sulit dilerai dengan solusi damai, baik dalam sengketa benda maupun hanya sengketa opini.

Dengan alasan dan argumen masing-masing, pihak yang berseteru saling mempertahankan dan ngotot (takkang) menginginkan benda atau harta yang diperebutkan. Siapa yang tampil atau maju jadi juru damai justru diabaikan dengan alasan ‘jangan ikut campur’. Alasannya pula, sang juru damai sebagai wasit atau penengah itu belum diyakini akan bersikap adil dan bermotif baik (burju). Sedikit banyaknya cenderung berpihak kepada salah satu pihak (kelompok atau individu).

Bacaan Lainnya

Akhirnya, terjadilah solusi final yang sebenarnya tidak diinginkan kedua pihak atau kelompok yang bersengketa. Misalnya yang jadi sengketa itu tanaman di ladang, maka tanamannya dirusak atau dibakar sebagai ‘akhir cerita’. Rebutan rumah antar keluarga ahli waris, rumahnya kemudian dirobohkan seperti yang masih (pernah) terjadi di desa Kutambelin, Kecamatan Pancurbatu pada awal 2000 lalu. Rebutan bola antara Jefri Pinem dan Anthonius Malau pada saat jam Penjas (pendidikan jasmani, istilah olahraga/Orkes sekarang) di lapangan bola depan SDN 5 Berastagi pada 1974 silam, diakhiri dengan penusukan bola dengan pisau oleh pak Guru Surbakti.

Penulis sendiri mengalami ketika pemakaman KB Manurung (bapak mertua kandung) yang ditolak keluarga di kampung untuk dimakamkan di lahan yang sebenarnya masih milik sesama keturunan satu kakek-nenek (ompung), sehingga harus dimakamkan di areal ladang kopi, di desa Aek Natolu, Kecamatan Lumbanjulu (Tobasa, kini kabupaten Toba), pada 2001 lalu.